Monday, May 9, 2016

2016-05-05 Pulau Pisang, Lampung

Banana....banana....

Sangat mendadak, Rabu sore (4 Mei 2016) memutuskan ikut  bergabung dengan rombongan trip ke Pulau Pisang.
Saat itu saya masih kerja dan pekerjaan administrasi masih menumpuk. Segera saya selesaikan pekerjaan.
Lalu pulang ke rumah. Mandi. Packing dari nol, karena sedianya saya akan berangkat trip Kamis malam ke Pulau Biawak, namun dibatalkan karena panitia tidak memperoleh mobil kapasitas 15 orang, yang siap bus untuk 50 orang. Sedangkan trip Pulau Biawak sendiri sejatinya merupakan trip pengganti Karimun Jawa tanggal yang sama yang terkendala jadwal kapal Siginjay yang tiba-tiba off dari Jepara. Kekisruhan yang berulang kali mencoreng pariwisata Karimun Jawa. Banyak beredar berita dari calon wisatawan yang kecewa juga.



Gojek menjemput ke rumah saya. Lalu mengantar saya ke Terminal Bus Kalideres dengan ongkos Rp 15 000 termasuk uang tipsnya. Biasanya saya naik bus Arimbi menuju Merak, saat liburan long weekend ini tidak nampak bus Arimbi sama sekali. Akhirnya saya naik bus Asli Prima jurusan Merak. Saya membayar 25 000. Bus penuh, namun tetap mencari penumpang sampai penumpang penuh berdiri di tengah. Rupanya pak sopir tidak mau melewatkan kesempatan ini. Alhasil sampai pukul 11 malam, bus masih di Cikokol.

Jam 1 malam ( Kamis, 5 Mei) bus masuk ke Terminal Bus di Pelabuhan Merak. Saya peserta terakhir yang sampai. Di sana sudah berkumpul mas Gusti Pratama, mas Dede beserta ketiga temannya, mas Febri, mbak Aan, dan mbak Fitri.

Langsung kita menuju loket antrian karcis. Kami berenam harus antri membeli dengan menunjukkan kartu identitas diri, boleh KTP maupun SIM. Karcis ferry 13 000. Untuk dianggap rombongan harus minimum 10 peserta. Rombongan boleh membeli tiket tanpa menunjukkan kartu identitas.

Pukul 01:30 kita sudah menaiki kapal ferry KM Sebuku. Cukup lama proses unloading dan loadingnya. Setelah itupun jalur kapal keluar masuk pelabuhan yang sedang padat memperlama proses.







Pukul 5:45 kapal merapat di dermaga Pelabuhan Bakauheni. Kita menuju tempat parkir dan segera menjumpai mobil travel yang sudah kita pesan sebelumnya, sebuah minibus Daihatsu Grand Max berkapasitas 7 orang.

Mobil travel yang kita sewa.


Perjalanan melewati Kalianda, Tarahan, Teluk Betung, Gedong Tataan, Pringsewu, Kota Agung, Penanggungan, lalu beristirahat untuk sarapan di daerah Sedayu, sebelum daerah hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.


Salah satu tempat makan di daerah Sedayu. Pemilik rumah makan berbahasa Jawa.

Di daerah Lampung banyak dihuni transmigran dari Pulau Jawa, oleh karenanya banyak penduduk yang berbahasa Jawa dan di sekitar daerah ini ada nama-nama daerah di Jawa seperti Wonosobo, Tegal, dan sebagainya.







Setelah melewati daerah taman nasional, kita melewati Bengkunat, Biha, Krui dan akhirnya sampai di Pelabuhan Tebakak pukul 15:00. Hampir 9 jam perjalanan darat.

Menurut Google Map, ada dua jalur yang bisa ditempuh, jalur atas berwarna biru, dan jalur bawah berwarna abu-abu. Waktu tempuh sekitar 8 jam. Rute yang dijalani oleh sopir kita adalah rute bawah berwarna abu-abu.

Beruntung hari itu ramai, sehingga masih ada satu kapal cadik yang melayani penyeberangan ke Pulau Pisang.

Jangan membayangkan pelabuhan Tebakak seperti pelabuhan besar. Pelabuhan ini hanya merupakan hamparan pasir biasa, tidak ada dermaga. Mobil bisa dititipkan di warung makan di dua sisi jalan, namun kapasitas muatnya sedikit. Jika dari pelabuhan ini, cukup 15 menit menyeberang sampai ke Pulau Pisang. Bisa juga ditempuh dari Pelabuhan Krui, dengan waktu tempuh satu jam perjalanan laut.

Memang selain di Tebakak ini, pantai banyak terdapat karang-karang yang menyulitkan untuk perahu berlabuh. Hanya di Tebakak inilah yang terlihat pantai berpasir, sehingga cukup lumayan untuk mendaratkan perahu.

Air laut sedang pasang dan ombak cukup lumayan, kapten kapal mematok tarif 20 000 rupiah sekali penyeberangan dengan alasan ombak sedang tinggi dan pulangnya kosong. Kami satu perahu berenam dan sepasang suami istri dari Bengkulu. Sedangkan kapten harus dibantu 4 orang anak buah untuk mendorong perahu dari atas pasir di Pelabuhan Tebakak. Dermaga lama di Pelabuhan Tebakak sudah rusak dihempas ombak, tidak bersisa. Jadi disarankan pakai sandal gunung dan celana pendek, karena akan berbasah ria.







Pulau Pisang nampak di depan Pelabuhan Tebakak, sangat dekat, sebentar sampai. Perahu mendarat di atas pasir, kitapun harus turun di atas air laut lagi. Pulau Pisang memiliki dermaga beton, namun kurang menjorok ke tengah, sehingga tidak bisa dipakai. Dermaga inipun sudah berlubang-lubang laintainya. Tersisa hanya balok-balok beton.

Dermaga Pulau Pisang, tidak bisa dipergunakan sebagai dermaga kapal. Lantai dermagapun sudah berlubang-lubang.

Pantai di dermaga Pulau Pisang, masuk ke dalam daerah Pekon Pasar. Di sini kapal kita mendarat. Nampak daerah Lampung, Pulau Sumatra sebagai background.

Sesampai di Pulau Pisang, kita segera ke rumah Bapak Albert yang dijadikan homestay Salsabila. Bapak Albert adalah nama gaul Bapak Azizi, seorang Kepala Sekolah Dasar di Pulau Pisang.

Homestay Salsabila.

Homestay lainnya, Homestay Mutiara, terletak di dekat masjid, di Pekon Labuhan.

Kantor Camat Pulau Pisang.








Berpose di depan Kantor Camat.


SEJARAH PULAU PISANG
Konon saat belum ada kapal, penghuni pertama pulau ini menaiki rakit yang ternyata dari beberapa batang pohon pisang. Oleh karena itu dinamakan Pulau Pisang.

Pulau Pisang terdiri dari 6 desa atau pekon dalam bahasa lokal, yaitu Pekon Pasar, Pekon Sukadana, Pekon Sukamarga, Pekon Labuhan, Pekon Pekon Lok dan Pekon Bandar Dalam.

Pekon yang terbentuk terlebih dahulu adalah pekon yang terletak di daerah yang lebih tinggi, kemungkinan karena lebih aman dari gelombang laut. Pekon yang lebih baru adalah pekon di daerah yang lebih rendah.

Pulau Pisang sendiri nampak kurang terawat. Masa keemasan Pulau Pisang pada saat jalan lintas Barat belum dibuat. Hampir semua perjalanan di daerah barat ini melalui akses laut, dan Pulau Pisang sebagai tempat berlabuh. Pun di masa lalu Pulau Pisang terkenal dengan hasil tanaman cengkehnya. Di masa keemasan itu cengkeh dikirim ke perusahaan rokok. Dan harga cengkeh dekat dengan harga emas. Lalu terjadi musibah, entah kenapa, seluruh tanaman cengkeh mati secara bersamaan. Pulau inipun kehilangan masa kejayaannya. Demikian penuturan Bapak Azizi. Kini cengkeh mulai ditanam lagi, namun perlu waktu untuk tumbuh dan dipanen seperti dahulu. Sedangkan harga cengkeh dibandingkan harga emas, semakin tidak berarti.

Kini hanya tersisa para nelayan yang sebagian besar tinggal di daratan rendah, di pekon muda, Pekon Pasar. Sebagian besar penduduk Pulau Pisang mempunyai sawah dan mata pencaharian di Pulau Sumatra, sehingga Pulau Pisang ditinggalkan. Mereka hanya kembali ke Pulau Pisang saat ada keperluan keluarga besar saja.Banyak rumah tua yang tidak terurus, rusak dan ambruk.

Kendala lainnya adalah keterbatasan ketersediaan listrik. Listrik dipenuhi dari iuran generator diesel setiap 20 rumah. Listrik diesel hidup dari jam 6 sore sampai 11 atau 12 malam, tergantung kesepakatan warga. Untuk biaya didapat dari iuran warga sebesar 25 000 per lampu dan 15 000 per televisi, per bulannya. Iuran ini untuk bahan bakar dan perawatan generator.







Sumber daya lainnya adalah panel surya yang terbatas. Dengan kekurangan sarana listik ini, tentunya berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Permintaan prasarana ini sudah berulang kali disuarakan saat ada pejabat yang berkunjung, namun realisasi belum ada. Semoga segera terpecahkan.

Panel surya dan bak penampungan air bersih.


Setelah kita meletakkan barang bawaan di homestay, saya dan mas Gusti berkeliling melalui jalan beton mengelilingi pulau, menggunakan motor Pak Albert.  Di bagian pulau yang menghadap Pulau Sumatra, datarannya rendah, sedangkan di bagian yang menghadap samudra, datarannya tinggi. Terlihat jalanan beton sudah banyak yang rusak dan tertutup ranting dan daun jatuh. Kesimpulannya jalanan ini tidak terawat dan jarang dilewati. Saat naik dan turun jalanan yang cukup curam, demi keamanan, sebagai pembonceng saya harus berjalan kaki, anggaplah olah raga, betispun segera terasa kencang dan capai. Seandainya saja bisa diberdayakan untuk wisata tracking.

Pulau Pisang dikelilingi banyak karang. Di salah satu ujung pulau, di Pekon Labuhan, terdapat dua bongkah karang, kalau tak salah mereka menamakannya Batu Garu. Menurut penuturan pak Bokir, kapten perahu asal Pekon Labuhan, karang di daerah tersebut sangat bagus, namun saat ini tidak bisa didekati karena berombak.

.
Saat melalui pantai di dekat panel surya Pekon Labuhan, saya melihat benda seperti punggung penyu, lalu muncul kepalanya dan menghilang di air. Sayang saat itu saya tidak membawa peralatan untuk bermain air. Beberapa kali saya melihat hal itu sekilas saja, sehingga saya pikir itu hanyalah karang saja.







Berkeliling pulau mengendarai motor matik. Beton jalanan sudah mulai rusak, dan tertutup semak. Saat melewati daerah yang cukup turun-naik, kita sebaiknya tidak berboncengan, karena cukup berbahaya


Berputar mengelilingi pulau, membawa kita kembali melewati dermaga di daerah Pekon Pasar, tempat kita mendarat pertama kali.

Pulang kembali ke homestay, mandi dan makan malam yang disediakan oleh istri pak Albert. Menu oyong rebus (gambas) dan ikan tongkol. Pak Albert memiliki 3 orang anak, yang terbesar seorang putri saat ini sedang kuliah di jurusan farmasi di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, sedangkan anak kedua putra dan yang ketiga putri tinggal bersama pak Albert.


Sayur oyong dan ikan tongkol, lauk malam itu.

Melewati satu rumah saja di belakang rumah pak Albert, sudah kita jumpai pantai yang menghadap Pulau Sumatra. Di deretan itu, sekitar dua rumah terdapat pantai untuk berlabuh beberapa perahu milik desa Labuhan. Penduduk desa Labuhan akan naik dan turun dari sini. Terdapat sebuah warung dan sebuah masjid di pelabuhan kecil ini.

Sebuah warung di tepi pantai, di desa Labuhan.

Nikmatnya makan pisang goreng dan minum kopi di tepi pantai. Makan pisang goreng di Pulau Pisang.







Penduduk lokal di desa ini memiliki alat tembak sederhana, yang dibuat dari kayu. Untuk orang tua ukurannya lebih panjang, dan untuk anak-anak lebih pendek. Karet penembaknya menggunakan karet bekas ban dalam yang dirangkap. Saya tidak berhasil menarik karetnya, bahkan untuk ukuran yang terkecil sekalipun. Kacamata renang terbuat dari kayu dan kaca, dengan getah damar hitam sebagai penutup pinggiran kacanya.

Setelah obrolan di warung, sayapun pulang dan berisitrahat.


HARI KEDUA DI PULAU PISANG
Keesokan harinya (Jumat, 6 Mei 2016) kita berjalan ke dermaga dan melihat matahari terbit. Berjalan kaki melewati desa-desa.

Dermaga Pulau Pisang, di Pekon Pasar, lantainya sudah berlubang. Saat ini hanya digunakan oleh para penduduk mauipun pengunjung, untuk loncat ke laut berenang.

Pemandangan yang indah di kanan kiri dermaga.

Lobang lantai dermaga.

Pemandangan pantai yang indah.

Puskesmas Pulau Pisang.

Warga menjemur hasil panenan cengkeh.







Pagi itu kita menuju ke warung untuk sarapan pagi.

Masjid di Pekon Labuhan.

Jajanan untuk sarapan pagi.


Setelah waktu sholat Jumat, hanya kita berdua menyewa kapal melewati ombak untuk menyelam di tengah. Ongkos kapal disepakati 300 000 rupiah dengan sang kapten, pak Bokir. Pak Bokir dibantu oleh seorang anak buah kapal, orang asli Padang, suami ibu si pemilik warung itu.

Saya dan mas Gusti, bergantian turun sampai 10 meter. Ada arus di dasar, tali berpemberatpun terlihat miring. Bagian koral yang menarik, tidak dapat kita singgahi karena berombak. Disarankan bulan February dan sekitar bulan Oktober, untuk suasana laut yang tenang.

Saat bermain air bawah perahu di pelabuhan Pekon Labuhan, dekat masjid ini, saya tak sengaja melihat sepasang mata ikan, ternyata itu adalah seekor ikan batu. Kelihatannya ikan itu tidak kemana-mana seumur hidupnya, badannya dipenuhi lumut sama dengan batu karang di sekitarnya. Duri pada kulit ikan ini beracun.







Segerombolan ikan berekor biru seukuran 1.5 telapak tangan saya, cukup ramah, tidak takut saat saya dekati, mungkin itu pengaruh dari rash guard hitam yang saya pakai. Karena saat mas Gusti yang bercelana merah mendekati, mereka langsung kabur.

Di daerah ini ombak cukup besar, terasa adanya arus bawah yang membawa kita bergeser dari tempat kita menyelam. Karang-karang tidak tumbuh rapat. Sekitar lima tahun yang lalu, banyak nelayan dari daerah lain datang ke daerah ini dan menangkap ikan dengan cara mengebom karang.

Mas Gusti sedang naik ke permukaan.

Saya bersiap turun ke arah karang.

Kedalaman 10 meter.

Batu Garu. Spot yang katanya bagus underwaternya, namun sayang sedang berombak.

Sesekali nampak penyu dan rombongan ikan berekor biru. Air laut juga sedang keruh. Cukuplah beberapa spot untuk melengkapi trip kali ini. Kami mendarat kembali di pelahuban Pekon Labuhan di dekat masjid, tempat kita berangkat tadi. Tak lama kemudian, sekitar pukul 4 sore, anak-anak pulau kembali bermain seluncur papan. Mereka berjalan kaki melewati karang, menuju ombak dan menunggu ombak datang. Saat ombak datang, mereka merebahkan badan di atas sepotong papan dan meluncur ke pasir pantai.

Seluncur papan.

Sore itu, tak berapa lama kemudian, hujan deras turun disertai petir dan guruh, berlangsung tak henti-hentinya sampai enam jam. Sehabis mandi dan menikmati makan malam lauk ikan marlin, tahu, rebusan daun singkong, sayapun segera terlelap saat hujan masih turun..








HARI KETIGA DI PULAU PISANG
Hari Sabtu pagi, saat masih gelap, sangat pagi, terlalu pagi... teman-teman pria membangunkan saya untuk berburu foto bintang. Saya memilih untuk tidak ikut serta berfoto milky way. Baju masih berserakan, saya bereskan semua masuk dalam tas carrier saya, termasuk barang-barang kecil seperti power bank yang bisa terlupakan saat pulang teruburu-buru. Selesai berkemas, saya berjalan kaki sendirian ke arah dermaga. Jarak homestay di desa Labuhan ke dermaga di desa Pasar lumayan jauh. Jalanan gelap. Sesekali saya menyalakan lampu dari handphone untuk menerangi jalan. Dua ratus meter berjalan, dalam gelap, saya merasakan bulu kuduk saya berdiri dan merinding hampir seluruh badan saya. Hanya sebatas itu yang bisa saya rasakan, saya tidak dapat melihat penampakan alam lain seperti yang sering orang ceritakan.

Sekitar 100 meter kemudian nampak ada 4 pasang batu nisan di kiri jalan. Dan tanpa terasa saya sudah sampai di dermaga dan sendirian duduk di sana, sambil mengetik beberapa paragraf untuk blog ini.

Pukul 7.15 saya sampai di homestay, dan berpamitan dengan ibu pemilih rumah. Pak Albert masih tertidur lelap. Kedua tas saya sudah dibawa oleh teman-teman ke dermaga Labuhan. Pasir yang tadinya nampak, sekarang tertutup oleh air laut yang pasang. Celana saya basah oleh ombak. Beberapa menit kemudian kita sudah sampai di seberang, di Pelabuhan Tebakak. Menumpang di warung untuk membasuh badan dan berganti celana, lalu menyeruput secangkir kopi. Bersantai sejenak, lalu naik mobil ke arah pulang.

Perut terasa lapar, roti dan cemilan kripik mengisi sedikit ruang yang ada. Kali ini waktu lebih lega, tidak terburu-buru seperti saat awal kita datang memburu jadwal perahu yang katanya hanya sampai pukul 15:00. Kita berhenti untuk makan di warung nasi padang di Kota Agung. Siang itu kita mengisi perut untuk sarapan yang tertunda.







Pemandangan jalan dengan Teluk Semangka di latar belakangnya.

Setelah lama, kita memasuki kota Bandar Lampung. Makan siang kita kali ini adalah Mpek-mpek Palembang Nony 168. Rupanya ini adalah cabang yang ke sekian dari pusatnya yang di Palembang. Sayang saya khilaf, tidak sempat memotret dua porsi empek-empek kapal selam yang nikmat, disertai dengan empek-empek kulit ikan. Barangkali bisa dilihat di internet, karena outlet ini memiliki website dan sosial media lainnya.

Outlet kelilingnya.


Pempek Nony 168 cabang Bandar Lampung.

Lalu kita berhenti kembali di tempat oleh-oleh Toko D Simbolon. Toko ini laris karena memberikan tips kopi, dan bingkisan bagi sopir dan ketua rombongan yang membawa rombongannya ke sini. Sisi negatif dari hal ini adalah kita tidak bisa mampir berkeliling kota membeli oleh-oleh di sana. Favorit saya masih pusat oleh-oleh di Jalan Ikan Kakap di Bandar Lampung, dekat dengan kelenteng, dan di sana ada kopi asli yang digiling di depan kita, kopi bubuk Sinar Baru cap Bola Dunia. Apakah harga di kota lebih mahal, saya masih meragukannya, toh pembeli yang pasti dibebani oleh bingkisan tadi. Nothing is free under the sun, begitukan ?

Ramai sekali suasana di toko oleh-oleh, di jalanan, di pelabuhan Bakauheni juga, suasana liburan panjang terasa. Sampai sekitar pukul 9 malam, kita beristirahat menunggu sampai pukul 12, agar bisa sampai di Jakarta nantinya saat pagi hari. Memang pelabuhan Bakauheni relatif lebih nyaman dibandingkan Pelabuhan Merak.

Cukup rasanya cerita sampai di sini...

Sampai bertemu di trip selanjutnya....

Main Air Yuuk....

Gunadi TK




8 comments:

  1. Saya sudah beberapa kali merencanakan Anda ke pulau Pisang. Tapi belum juga terlaksana. Membaca posting Mas Gunadi yang lengkap ini jadi membulatkan tekad harus bikin itinerary dari kembali. Pulau Pisang memang istimewa :)

    ReplyDelete
  2. Terima kasih, bu Evi. Pulau Pisang, tentunya menjadi trip kecil buat ibu Evi yang sudah keliling kemana-mana. Semoga tetap sehat dan berkesempatan ke Pulau Pisang, bu.

    ReplyDelete
  3. Loh aku baru tau kalo ternyata ada pulau pisang di lampung .. makasih om gun infonya .. hehhe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sama-sama, neng Indah Fajarwati. Sepulang trip kita ke Derawan, baru mulai mau nulis lagi, sebelum ketumpuk trip lain.

      Delete
  4. Keren "" tips backpakeran yang membantu mas bro """

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih, bang Arjuna Pandiangan, mau nulis lengkap biayanya cuman masih ragu.

      Delete
  5. besok2 menuju TKP dah om Gun. Sekalian explore lampung. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Buat Ennitan Octavia sang ratu kuliner... apa ya menu istimewa di sana... Oh masakan ikan Marlin... Bukan Marlyn Monroe lho...

      Delete